Rabu, 26 November 2014

PENGARUH PEMBERIANEKSTRAK BAWANG MERAH (Allium ascalonicum) TERHADAP KADAR KOLESTEROL-LDL SERUM TIKUS WISTAR HIPERLIPIDEMIA



PENGARUH PEMBERIANEKSTRAK
BAWANG MERAH (Allium ascalonicum)
TERHADAP KADAR KOLESTEROL-LDL SERUM TIKUS WISTAR HIPERLIPIDEMIA

1.1    Latar belakang
Akibat dari kemajuan teknologi,  saat ini banyak tercipta alat-alat  yang dapat membuat manusia untuk beraktifitas,  tanpa perlu mengeluarkan banyak energi. Hal ini menimbulkan terjadinya penurunan aktifitas fisik pada masyarakat. Disamping itu, saat  ini juga terjadi  peningkatan konsumsi  makanan padat  kalori,  seperti  makanan cepat saji, karena sering dianggap lebih praktis dibanding makanan dengan komposisi gizi  yang  seimbang. Perubahan  pola  makan  dan  aktifitas  fisik  tersebut  dapat mengakibatkan  terjadinya  ketidakseimbangan  energi  dan  dapat  menimbulkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia  sendiri  merupakan  salah  satu  faktor  resiko  dari Penyakit Jantung Koroner.
Hiperlipidemia  adalah  suatu  keadaan  terjadinya  peningkatan  kolesterol atau trigliserida  serum di atas batas normal. Peningkatan kolesterol serum yang terjadi, terutama  mencerminkan peningkatan kolesterol-LDL. LDL (Low Density Lipoprotein) merupakan lipoprotein yang memiliki  kandungan kolesterol  tertinggi dibandingkan  lipoprotein  lainnya. LDL dalam pembentukannya  membutuhkan apolipoprotein B yang merupakan apolipoprotein primer pada lipoprotein ini.beberapa penelitian disebutkan bahwa overekspresi dari mApo-B dapat meningkatkan kadar  kolesterol-LDL pada  tikus  dan  penurunan dari Apo-B menurunkan  kadar kolesterol-LDL pada tikus.
Bawang merah (Allium ascalonicum) adalah tanaman yang banyak ditemukan di  Indonesia serta sangat  sering dimanfaatkan oleh masyarakat  sebagai  salah satu jenis bahan makanan, karena selain dapat  menambah rasa sedap juga mengandung zat-zat  fitokimia  yang  memiliki  efek farmakologis  yang  baik  untuk  kesehatan. Terdapat  penelitian yang melaporkan bahwa bawang merah mengandung quercetin dalam kadar yang tinggi, saponin, isorhamnetin dan glikosida. Pada penelitian lain dikatakan  bahwa  quercetin  dapat  menurunkan  kadar  kolesterol  total dan kadar kolesterol-LDL, dengan cara menghambat sekresi apolipoprotein B, dan menurunkan aktivitas MTP yang memiliki peran dalam pembentukan lipoprotein dengan mengatalisa perpindahan lipid ke molekul Apo B. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa saponin memiliki efek dalam menurunkan kadar kolesterol pada percobaan dengan hewan, dengan cara menghambat reabsorbsi asam empedu.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemberian ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) dapat menurunkan kadar kolesterol-LDL serum tikus Wistar hiperlipidemia. Hasil  penelitian ini  diharapkan dapat  memberikan informasi kepada  penderita hiperlipidemia dan masyarakat tentang efek pemberian ekstrak bawang merah dalam menurunkan kadar  kolesterol-LDL serum, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif terapi dan sebagai sumber acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.2    Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini dipaparkan sebagai berikut
1.      Bagaimana pengaruh pemberian diet kuning telur terhadap tikus wistar?
2.      Bagaimana pengaruh diet ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) terhadap penurunan kadar kolestrol-LDL serum tikus wistar?

1.3    Tujuan
Tujuan dalam makalah ini dipaparkan sebagai berikut.
1.      Mengetahui pengaruh pemberian diet kuning telur terhadap tikus wistar.
2.      Mengetahui pengaruh diet ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) terhadap penurunan kadar kolestrol-LDL serum tikus wistar .




BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan masalah akan menyajikan tentang (1) bagaimana pengaruh pemberian diet kuning telur terhadap tikus wistar dan Mengetahui pengaruh diet ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) terhadap penurunan kadar kolestrol LDL serum tikus wistar  yang dipaparkan sebagai berikut.

2.1  Pengaruh Pemberian Diet KuningTtelur Terhadap Tikus Wistar.
LDL (Low Density Lipoprotein) merupakan lipoprotein yang memiliki kandungan kolesterol tertinggi dibandingkan lipoprotein lainnya. LDL dalam pembentukannya membutuhkan  apolipoprotein B yang merupakan apolipoprotein primer pada lipoprotein ini. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa overekspresi dari mApo-B dapat meningkatkan kadar LDL pada tikus dan penurunan dari Apo B menurunkan kadar LDL pada tikus (Murray Robert K , 2006).
Kolesterol adalah produk metabolisme hewani sehingga kolesterol hanya terdapat pada makanan yang berasal dari hewan seperti kuning telur, daging, hati dan otak (Price Sylvia A 2006). Dalam penelitian acuan Prasetyo Awal (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2003), disebutkan bahwa injeksi adrenalin iv 0.006 mg pada hari pertama dilanjutkan dengan  pemberian diet 10 gram kuning telur secara intermitten pada hari kedua sampai keempat  belas pada tikus Wistar jantan meningkatkan kadar kolesterol total, LDL, trigliserida, jumlah sel busa dan ketebalan dinding aorta.
Perubahan ini didasarkan pada penelitian sebelumnya menurut Prasetyo Awal (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2003), yang menyebutkan bahwa diet kuning telur dalam konsentrasi rendah (0.5 % sampai 1% BB) dapat menimbulkan hiperlipidemia dan pemberian diet kuning telur  yang dilakukan setiap hari, dapat  menyebabkan kematian, yang diduga akibat keracunan kolesterol akut. Selain itu pada penelitian yang  lain  menunjukkan  bahwa  pemberian  kuning telur sebanyak 6,25 11 gram/kgBB/hari mampu meningkatkan kadar kolesterol secara bermakna,pada penelitian ini pemberian diet kuning telur diberikan dengan dosis 5 gram/tikus dan tidak diberikan tiap hari melainkan intermitten. Hasil yang tidak bermakna antar kelompok kontrol, kemungkinan juga disebabkan karena adanya  kelemahan pada penelitian ini yaitu tidak langsung diukurnya kadar kolesterol-LDL setelah pemberian diet  kuning telur  intermitten. Pada  penelitian ini kadar kolesterol-LDL diukur 3 minggu setelah pemberian diet kuning telur intermitten, sedangkan pada penelitian Awal P (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2003), pemeriksaan kadar kolesterol-LDL dilakukan setelah pemberian diet kuning telur intermitten selesai.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakana antar kelompok penelitian. Antara kelompok K- dengan kelompok K+ tidak didapatkan perbedaan bermakna. Hal ini berbeda dengan penelitian Awal P (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2003), yang menunjukkan hasil berbeda secara bermakna. Hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian  Awal  P (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2003), diduga  akibat  perubahan yang dilakukan selama pelaksanaan  penelitian  yaitu  dalam  induksi  hiperlipidemia  tikus Wistar. Pada penelitian ini induksi hiperlipidemia pada tikus wistar dilakukan dengan pemberian injeksi adrenalin iv 0.006 mg pada hari pertama dilanjutkan dengan pemberian diet 5 gram kuning telur secara intermiten pada hari kedua sampai keduapuluh delapan pada tikus. Alasan  perubahan  induksi  hiperlipidemia  tikus  Wistar  pada  penelitian  ini sehingga berbeda  dengan penelitian Awal P (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2003) adalah pada pelaksanaan penelitian ketika tikus di sonde  kuning telur lebih dari 5 gram, tikus wistar memuntahkannya, sehingga pada penelitian  ini  dosis  intermittennya dikurangi menjadi 5 gram dan waktu pemberian diperpanjang 2 minggu agar dosis akhir kuning telur tetap sama jumlahnya dengan penelitian Awal  P (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim 2003).

2.2 Mengetahui Pengaruh Diet Ekstrak Bawang Merah (Allium ascalonicum) Terhadap Penurunan Kadar Kolestrol-LDL SerumTtikus Wistar .
Pada beberapa penelitian mengenai bawang merah disebutkan bahwa terdapat beberapa jenis  senyawa fitokimia yang terkandung di dalai bawang merah yaitu quercetin dalam kadar yang  tinggi, furostane saponin, isorhamnetin, glikosida, isoalliin (S-Propenyl-L-cystein sulfoxide), thiosulfinate dan flavonoid. Terdapat juga penelitian yang menyebutkan bahwa salah satu derivate flavonoid yang paling banyak terdapat di dalam bawang merah adalah quercetin,  quercetin 4-glucoside, quercetin 7,4-diglucoside, quercetin 3,4-diglucoside dan quercetin mono D-glucose Rose Peter (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2005).
Terdapat beberapa penelitian mengenai manfaat quercetin dan  saponin di bidang kesehatan, salah satunya yang dilakukan pada sejumlah wanita di jepang menunjukkan bahwa konsumsi flavonoid yang memiliki kandungan quercetin mampu menurunkan kolesterol. Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa quercetin dapat menurunkan kadar kolesterol total dan kadar  kolesterol LDL dengan  cara menghambat sekresi Apolipoprotein B 100 pada sel CaCo-2 serta dapat menurunkan aktivitas  dari  MTP, MTP sendiri  berperan  pada pembentukan lipoprotein  dengan mengatalisa perpindahan lipid ke molekul Apo B. Terdapat Penelitian  terdahulu juga menyebutkan bahwa quercetin dapat  menghambat  aktivitas enzim HMG-KoA reduktase, yaitu  enzim yang berperan dalam pembentukan  kolesterol. Penelitian mengenai saponin menunjukkan bahwa saponin dapat menghambat reabsorbsi asam empedu (yang disintesa dari kolesterol) oleh sel usus) sehingga asam empedu akan segera diekskresikan bersama feses.Untuk mengompensasi kehilangan asam empedu, kolesterol dalam serum akan dikonversi oleh hepar menjadi asam empedu sehingga akan terjadi penurunan kadar kolesterol dalam darah.
Pada kelompok control dan perlakuan, serta antar kelompok perlakuan juga tidak didapatkan perbedaan bermakna meskipun rerata kelompok P2 yang menggunakan bawang merah dosis 2 ml lebih rendah dibanding kelompok P1 yang menggunakan dosis  bawang merah 1 ml. Hasil yang tidak bermakna ini berbeda dengan hasil penelitian Arai Yusuke (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim,2000), hal ini diduga disebabkan perbedaan metode penelitian dan bentuk substrat yang digunakan. Pada penelitian Arai Yusuke (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim , 2000) substrat yang digunakan dalam bentuk flavonoid dan quercetin murni  dan sampel yang digunakan adalah wanita jepang,sehingga sedangkan pada penelitian ini substrat yang digunakan adalah ekstrak bawang merah yang didalamnya terkandung flavonoid dan quercetin, serta sampel yang digunakan adalah tikus Wistar. Selain itu meskipun pada penelitian Adele Casaschi (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2002), terbukti bahwa quercetin mampu menurunkan kadar Apo B pada sel CaCo-2 sebesar 35%, namun tidak diketahui seberapa besar efek penurunan kadar Apo B tersebut terhadap penurunan kadar LDL dalam darah. Diduga hal inilah yang menyebabkan  hasil penelitian ini berbeda dengan  hasil penelitian Adele Casaschi. Hasil yang tidak bermakna juga disebabkan karena adanya kelemahan dalam penelitian ini, yaitu tidak dilakukannya pengukuran kadar quercetin yang terkandung dalam bawang merah yang digunakan,  sehingga tidak diketahui apakah bawang merah yang digunakan pada penelitian  ini, memiliki  kandungan quercetin dalam jumlah yang sama dengan bawang merah yang digunakan pada penelitian terdahulu.
Pada penelitian sebelumnya menurut E Fattorusso (Di Dalam Ratih Dwiratna Hakim, 2002) juga  terdapat  pernyataan  yang  menyebutkan bahwa terdapat zat fitokimia saponin di dalam bawang merah,tetapi belum diketahui seberapa banyak kadar saponin yang terkandung didalam bawang merah, dan pada penelitian ini karena tidak didapatkan perbedaan bermakna antar kelompok penelitian maka diduga kadar  saponin di dalam bawang merah jumlahnya belum mencukupi untuk  menurunkan  kadar  kolesterol  LDL dalam darah. Kemungkinan lain hasil penelitian yang tidak bermakna ini adalah belum adanya  penelitian pendahuluan mengenai  dosis  bawang merah yang dapat menurunkan kolesterol-LDL, sehingga pada penelitian ini penentuan dosisnya menggunakan acuan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan  tablet flavonoid 17 mg dapat menurunkan kadar kolesterol  LDL pada wanita di jepang,yang kemudian dikonversi (dengan memperhitungkan kandungan flavonoid pada bawang merah) ke tikus Wistar jantan, sehingga  diduga  dosis yang digunakan pada  penelitian ini  kurang adekuat  untuk menurunkan kadar kolesterol LDL.
Hasil penelitian ini dapat berarti ekstrak bawang merah sebesar 1 ml dan 2 ml selama 3 minggu belum mampu memberikan khasiat yang berarti untuk menurunkan kadar  LDL sehingga pemberian ekstrak bawang merah belum dapat  menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Pada Bab II telah di paparkan penjelasan tentang (1) bagaimana pengaruh diet ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) terhadap penurunan kadar kolestrol-LDL serum tikus wistar dan (2) bagaimana pengaruh pemberian diet kuning telur terhadap tikus wistar. Berdasarkan pembahasan tersebut dapat di kemukakan simpulan sebagai berikut.
1.      Pengaruh diet ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) dengan dosis  bertingkat  yaitu  750 mg/1 ml  dan  1500 mg/2 ml  tidak menurunkan kadar kolesterol-LDL serum tikus Wistar.
2.      Pemberian  diet  kuning  telur  pada  tikus  wistar  tidak  meningkatkan  kadar kolesterol-LDL serum tikus Wistar.

3.2  Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas terdapat saran yang perlu disampaikan,yaitu
1.      Perlu dilakukan pemeriksaan  kadar  kolesterol-LDL setelah pemberian  diet kuning telur intermitten untuk mengetahui apakah kadar kolesterol-LDL serum tikus Wistar telah meningkat.
2.      Perlu  dilakukan  penelitian  lebih  lanjut  dengan memperhatikan durasi  waktu dan dosis  pemberian ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum) untuk mendapatkan efek pada kadar kolesterol-LDL serum tikus Wistar.







DAFTAR RUJUKAN
Arai Yusuke, Shaw Watanabe, Mitsuru Kimira, Kayoko Shimoi, Rika Mochizuki, and Naohide kinae. Dietary Intakes of Flavonols, Flavones and Isoflavones by Japanese Women and The Inverse Correlation between Quercetin Intake and Plasma LDL Cholesterol Concentration. Journal of Nutrition. c2000; 130: 2243-2250.
Casaschi Adele, Qi wang, Ka’ohimanu Dang, Alison Richards, and Andre Theriault. Intestinal Apolipoprotein B Secretion Is Inhibited by the Flavonoid Quercetin: Potential Role of Microsomal Triglycerida Transfer Protein and Diacylglycerol Acyltransferase. Lipids. 2002, Vol. 37, No. 7.
E Fattorusso, Lorizzi M, Lanzotti V, Taglialatela Scafati O. Chemical Composition of Shallot (Allium ascalonicum Hort). Journal of Agricultural and Food Chemistry. c2002; 50(20): 5686-5690.
Murray Robert K, Daryl K. Granner, Peter A. Mayes, Victor W. Rodwell.Biokimia Harper, edisi 25. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
Prasetyo Awal, Sarjadi, Pudjadi. Pengaruh Injeksi Inisial Adrenalin dan Diet Kuning Telor Terhadap Kadar Lipid, Jumlah Sel Busa dan Ketebalan Aorta Abdominalis Tikus Wistar. Jurnal Kedokteran Media Medika Indonesiana. 2003, Vol. 38, No. 1-7.
Price Sylvia A, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
Rose Peter, Matt Whiteman, Philip K. Moore, and Yi Zhun Zhu. Bioactive S-alk(en)yl Cystein Sulfoxide Metabolites in the Genus Allium: The chemistry of potential therapeutic Agents. Nat Prod Rep. c2005; 22(3): 351-366.


INTERAKSI GEN DAN LINGKUNGANNYA

Nama  :Beri Adimas Aryanto
Kelas   :Biologi A
Nim     :12620020
INTERAKSI GEN DAN LINGKUNGANNYA


Berdasarkan dari suatu sifat fenotipnya oleh genotipnya suatu gen dapat di pengaruhi oleh suatu keadaan lingkungannya,Dimana suatu gen yang sifatnya membawa suatu sifat dapat memunculkan suatu sifat yang baru apabila di dukung oleh suatu lingkungan tertentu.Akan tetapi lingkungan tidak serta merta dapat dapat mengubah suatu gen itu sendiri.Adapun disini ada tiga model interaksi gen dan lingkungannya.Adapun Model yang Pertama adalah Model Determinasi genetika (Genetik determination).




Pada model ini dimana pengaruh gen lebih dominan dari pada pengaruh lingkungannya, yang dimana dalam keadaan lingkungan yang bagaimanapun genotip dari suatu organisme tidak akan dapat berubah, karena lingkungan hanya menyuplai bahan mentahnya saja. Adapun jika dilihat pada gambar di atas terlihat bahwa beberapa lingkungan memberikan suatu pengaruh pada rancangan suatu gen akan tetapi tidak mempengaruhi sifat dari suatu organism yang diatur oleh suatu gentersebut. Apabila suatu gen mengatur dua sifat organisme dengan adanya suatu lingkunagan yang berbeda-beda maka itu tidak akan merubah suatu rencana gen tersebut.
Dari penjelasan diatas dapat di misalkan anak-anak yang berada di afrika yang memiliki kulit gelap tidak akan berubah warna kulitnya walaupun di pindah pada suatu daerah yang memiliki mayoritas orang berkulit putih misalnya orang eropa.oleh sebab itu dikatakan dimana dalam keadaan lingkungan yang bagaimanapun genotip dari suatu organisme tidak akan dapat berubah, karena lingkungan hanya menyuplai bahan mentahnya saja.
Jadi pada model Pertama dapat disimpulkan Bahwasanya suatu gen adalah Dimana Unsur yang benar_benar dominan dalam penentuan fenotipnya akan tetap karena suatu lingkungan hanyalah memasokkan bahan baku yang berbeda-beda.

Selanjutnya adalah Model yang ke Dua dimana model ini adalah Model Determinasi lingkungan atau penentuan lingkungan (Enviroment Determination). 


Adapun pada model yang ke Dua ini merupakan kebalikan dari Model yang pertama, karena pada model yang ke dua ini adalah model yang di mana berpengaruh sangat besar pada suatu lingkungannya. Disini di jelaskan bahwasanya suatu organisme dengan gen yang sama (Identik) dapat menampakkan suatu sifat yang berbeda jika mendapat suatu pengaruh lingkungan yang berbeda. Jika dilihat dari gambar diatas bahwasanya gambar diatas tampak bahwa kedua lingkungan A dan B masing masing mendapatkan atau menghasilkan dua organisme yang berbeda, akan tetapi berasal dari suatu gen yang sama.
Dari penjelasan di atas dapat kita berikan contoh permisalan yang dimana suatu bayi dilahirkan kembar yang identik yang diman mereka lahir di inggris namun setelah lahir mereka di pisahkan dan di bawa key berbagai Negara. Jika yang satu di bawa ke Korea dan di besarkan di Korea dan orang tua asuh yang membesarkannya memakai bahasa Korea maka dia akan berbahasa korea dengan seperti orang tua asuhnya dan yang satu lagi tadi di bawa ke jepang dan di besarkan di jepang makan adiknya ini akan memakai bahasa jepang juga.
Disini dapat di simpulkan bahwasanya pada model ke Dua ini meskipun seseorang itu memiliki sifat gen yang sama (identik) akan tetapi lingkungan dan budaya yang berbeda diman mereka tinggal akan menghasilkan suatu perbedaan diantara mereka, karena ini merupakan sebuah factor dari suatu lingkungan tersebut dan efek suatu genetik yang tidak penting atau berpengaruh dalam suatu perbedaan.Jadi jika yang pertama mengatan suatu lingkungan hanyalah memasokkan bahan baku yang berbeda-beda, Maka yang kedua mengatakan penampilan atau penampakan yang sebenarnya suatu karakteristik dari struktur akan di tentukan oleh bahan-bahan yang tersedia.inilah yang membuat Model key Dua adalah Kebalikan Model Pertama.


Selanjutnya adalah Model yang Ke Tiga Interaksi Genotipe-Lingkungan (Genotype-Enveropment Interaction).




  Berdasarkan dari model yang ke Tiga ini merupakan suatu model dari gabungan Model yang Pertama dan Model yang ke Dua. Adapun pada model yang ke Tiga Ini adalah sesuatu yang berusrusan dengan organisme yang berbeda dalai suatu gen dengan lingkungannya atau dimana suatu genotype dan lingkungannya saling mempengaruhi munculnya suatu sifat dari tiap suatu organism, Dari sini dapat dilihat bahwasanya  yang membuat perbedaan pada suatu organisme tidaklah hanya pada suatu lingkungan yang mereka temui akan tetapi dalam suatu urutan apa yang mereka temui.
Dari kajian diatas maka dapat kita berikan contoh dimana suatu lalat buah berkembang biasanya pada suatu suhu 25o C apabila suatu keadaan suhu di naikkan menjadi 37o C maka pada awal perkembang biakan pupa dimana suatu lalat dewasa akan kehilangan pola vena normal pada sayapnya, akan tetapi apabila suhu ini di berikan setelah Tahap perkembangan maka pola vena pada lalat dewasa tersebut akan memiliki sayap yang normal.dan ini merupakan suatu model dimana suatu gen dan suatu lingkungan bersama sama menentukan karakteristik dari suatu organisme tersebut.
Dari penjelasan diatas maka Model Ke Tiga dari gambar diatas dapat di simpulkan bahwasanya Suatu gen dan lingkungan akan menetukan seperti apa organisme tersebuat akan di bentuk. Oleh sebab itu suatu Organisme akan mengalami suatu perkembangan dari suatu Tahap ke Tahap berikutnya karena pada suatu gen yang di milikinya akan berinteraksi dengan suatu faktor lingkungannya pada masa hidupnya.



                                                                                           

artikel HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA VARIETAS PISANG (Musa sp.) UNTUK SIFAT KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERDASARKAN RGA ( RESISTANCE GENE ANALOG )



ARTIKEL HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA VARIETAS PISANG (Musa sp.) UNTUK SIFAT KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERDASARKAN RGA
( RESISTANCE GENE ANALOG )
Beri Adimas Aryanto 1, Wahyu safitri 2, Andi Jaya Pratama 3, Ahmad Ghazali 4,Roihana Al-Firdaus 5, Lilis Suryani 6
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

ABSTRAK
Pisang (Musa sp.)  merupakan salah satu tanaman yang mempunyai keanekaragaman genetik tinggi, sehingga sifat-sifat dari tanaman ini juga beragam. Salah satu sifat unggul daritanaman ini adalah tahan terhadap penyakit (contoh kultivar kultivar Mas Kirana dan Agung Semeru) dan rentan (kultivar Embug). Ketahanan dan kerentanan terhadap penyakit dikendalikan oleh RGA. Sekuens daerah terkonservasi pada RGA dapat digunakan sebagai dasar pembuatan primer, sehingga terdapat perbedaan pita amplifikasi antara kultivar tahan dan rentan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan beberapa kultivar pisang (Musa sp.) untuk sifat ketahanan terhadap penyakit berdasarkan RGA.Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun 12 kultivar pisang.  Pisang Agung Semeru dan Mas Kirana digunakan sebagai kontrol tahan. Sedangkan kontrol rentan adalah kultivar Embug, untuk dibandingkan pita DNA dengan 9 kultivar lain. Primer yang digunakan adalah primer daerah terkonservasi NBS-LRR dan NLRR. Tahap Penelitian meliputi ekstraksi DNA, Amplifikasi DNA dan pembuatan dendogram dengan softwere NTSys 2.01.Parameter data dalam penelitian ini adalah konsentrasi DNA, elektroforesis DNA genom, hasil amplifikasi DNA dan dendogram hubungan kekerabatan. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi DNA yang didapat berkisar antara 159,2 sampai 1131 ng/µl. Elektroforesis DNA menunjukkan beberapa sampel mepunyai pita yang tebal dan beberapa masih terdapat smear. Amplifikasi DNA menghasilkan pita berukuran 100 sampai 700 bp dan bersifat polimorfik. Hasil analisis hubungan kekerabatan menghasilkan Kultivar Mas Kirana sebagai kultivar tahan I berkerabat jauh dengan kelompok rentan dan tahan II dengan indeks kemiripan 0,54. Kultivar Embug sebagai kultivar rentan berkerabat dengan kultivar Barley dan Raja Nangka dengan indeks kemiripan 1, sedangkan dengan kultivar Kepok mempunyai indeks kemiripan 0,81. Kultivar Agung Semeru sebagai kontrol tahan II berkerabat dengan kultivar Susu dengan indeks kemiripankedua varietas ini adalah 1, sedangkan  dengan kultivar Agung Jawa, Ambon Hijau dan Raja Mala indeks kemiripannya 0,91. Kultivar  Cavendih berkerabat dengan kultivar tahan II dengan indeks kemiripan 0,73 dan kultivar Kidang dengan indeks kemiripan 0,68.
Kata Kunci : Kultivar Pisang (Musa sp), Ketahanan Terhadap Penyakit, RGA.

Indonesia merupakan negara tropis dengan kekayaan sumber daya genetic (plasma nutfah) tumbuhan yang sangat besar. Kekayaan tersebut menempatkan Indonesia negara dengan megabiodiversity terbesar kedua setelah Brazil (Putra, 2013). Tingginya tingkat keanekaragaman genetic pada tumbuhan karena Indonesia memiliki bentang alam yang luas dengan penyebaran dan kondisi wilayah geografis yang bervariasi (Poerwanto,2011).
Keanekaragaman tumbuhan yang tinggi juga diikuti oleh keanekaragaman genetik yang tinggi (Poerwanto, 2011). Salah satu tumbuhan yang memiliki keanekaragaman genetik tinggi adalah pisang (Musaceae). Keanekaragaman pisang merupakan keturunan dari dua jenis tetua pisang liar yaitu Musa acuminata (genom AA) dan Musa balbisiana (genom BB) (Rukmana, 1997).
Keanekaragaman genetik  pisang memberikan sifat fenotip yang beragam, salah satunya adanya perbedaan sifat pada ketahanan terhadap penyakit. Salah satu contoh adalah pisang Agung Semeru (M. paradisiaca) dan pisang Mas Kirana (M. balbisiana) di kecamatan Senduro dan kecamatan Pasrujambe Kabupaten Lumajang merupakan pisang yang tahan terhadap penyakit layu fusarium (Panama desease), penyakit layu bakteri (Moko desease) dan bercak daun  (Sigatoka desease). Penyakit ini ditemukan mudah menyerang kultivar lain yaitu pisang Embug (M. paradisiaca), akan tetapi tidak menyerang kedua pisang tersebut (Prahardini, 2010). Selain itu di kecamatan ini juga ditemukan beberapa kultivar pisang lainnya yaitu Kepok, Cavendish dan Raja. Kultivar-kultivar lain tersebut belum diketahui sifat tahan terhadap penyakit terutama secara genetik.
Sifat tahan penyakit pada pisang Agung Semeru (M. paradisiaca) dan pisang Mas Kirana (M. balbisiana) merupakan sifat unggul, sehingga diperlukan adanya karakterisasi kedua pisang tersebut dan mengetahui hubungan kekerabatan dengan kultivar pisang yang lainnya. Karakterisasi secara genetik dapat dijadikan sebagai salah satu konfirmasi, karena selain akurat juga dapat memberikan hasil yang lebih cepat dan efektif (Ilhami, 2010). Informasi sifat ketahanan terhadap penyakit ditentukan dari jarak genetik tanaman tahan penyakit dan rentan. Data karakterisasi dan hubungan kekerabatan pisang yang tahan penyakit dengan beberapa kultivar pisang lainnya dapat dijadikan referensi persilangan tanaman untuk kepentingan pemuliaan tanaman pisang (Crowder, 2007).
Ketahanan tanaman dari penyakit dikendalikan secara genetik oleh gen ketahanan (R-Gen). Gen ini terdapat di setiap tanaman dan telah banyak diisolasi dengan primer yang dibuat dari tanaman lain sehingga disebut Resistance Gene Analog (RGA) (Sutanto, 2013). Sekuens basa dari RGA dari berbagai tanaman merupakan daerah terkonservasi (sekuens nukleotidanya relatif tetap) antar spesies, sehingga dapat memberikan informasi dasar membuat desain primer untuk kepentingan amplifikasinya  (Tiing, 2012). Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk hubungan kekerabatan  beberapa kultivar  pisang (Musa sp.) untuk  sifat  ketahanan  terhadap penyakit berdasarkan RGA.

METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan 2 sampel daun pisang yaitu kultivar pisang Mas Kirana dan pisang Agung Semeru sebagai pisang tahan penyakit, serta pisang Embug sebagai kontrol rentan (Prahardini, 2010), tingkat ketahanan dari ketiga pisang ini akan dibandingkan dengan 9 kultivar lainnya, yaitu Barley, Kidang , Agung Jawa, Kepok, Ambon Hijau, Raja Nangka, Susu, Cavendish dan Raja Mala. Ekstraksi DNA mengunakan metode CTAB, kuantitas DNA diukur dengan menggunakan spektrofotometer dan kualitas DNA diukur dengan elektroforesis. Amplifikasi DNA menggunakan primer NBS-LLR (F’ATGTCAGGCGGTGGCAGAAG dan R’ AGTGCCGCCATCGACCATGA) dan NLRR (F’TAGGGCCTCTTGCATCGT dan R’ TATAAAAAGTGCCGGACT). Komposisi PCR total 25 µl terdiri dari GMM 12,5 µl , Primer Forward 1,5 µl, primer reverse 1,5 µl, DNA templete 1 µl dan Aquabides 8,5 µl. Pengkondisian suhu primer NBS-LRR predenaturasi 95 оC selama 3 menit, denaturasi  94 оC selama 45 detik, annealing 56 оC selama 30 detik, extensi 72 оC selama 1 menit, post extens 72 оC selama 10 menit dengan jumlah siklus 35. Pengkondisian suhu primer NLRR yaitu predenaturasi 94 оC selama 3 menit, denaturasi 94 оC selama 1 menit, annealing 49 оC dan 51оC selama 5 menit, Extensi 7 оC, post extensi 72 оC selama 72 оC dengan jumlah siklus 45. Analisis data dilakukan dengan softwere NTSYS- pc versi 2.01.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan konsentrasi DNA berkisar antara 159,2 sampai 1131 ng/µl. Banyak sedikitnya DNA yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor pada saat ekstraksi dan kondisi sampel. Tingkat kemurnian DNA masing-masing sampel berkisar antara 1,34 sampai 2,02. Hasil ekstraksi dengan rasio 1,8 sampai 2,0 merupakan DNA dengan kemurnian yang tinggi dan tidak terkontaminasi dengan residu protein. Hasil konsentrasi dan kemurnian DNA dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel Konsentrasi dan Kualitas DNA
No
Nama Pisang
Konsentrasi
DNA(x50
ng/µl)
A260
A280
A260/A280
(Kemurnian)
1.
Agung Jawa
224,73
0,019
0,007
2,05
2.
Agung Semeru
771,89
15,403
7,917
1,95
3.
Mas Kirana
217,30
4,495
3,346
1,34
4.
Susu
777,69
0,039
0,023
1,68
5.
Kidang
935,3
0,047
0,022
2,04
6.
Cavendish
1131,28
2,640
1,234
2,07
7.
Embug
238,8
0,012
0,006
2,00
8.
Kepok
796
0,059
0,037
1,57
9.
Barley
159,2
0,009
0,004
2,00
10.
Raja Nangka
808,28
0,045
0,020
2,00
11.
Raja Mala
557,2
0,029
0,017
1,72
12.
Ambon Hijau
796,06
0,076
0,054
1,40

Hasil  kualitas DNA  menunjukkan bahwa sampel nomor 1 (Mas Kirana) terlihat DNA yang didapatkan sangat sedikit konsentrasinnya dan terdapat smear. Sampel nomor 2 (Susu), 3 (Kidang), 4 (Cavendish) dan 6  (Kepok)  terlihat pita yang dihasilkan sangat tebal karena konsentrasi DNA tinggi tetapi masih ada smear. Sampel nomor 5 (Embug), 8 (Agung Semeru), 9 (Barley), 10 (Raja Nangka), 12 (Ambon Hijau) terlihat pita yang dihasilkan tipis, sedikit menyebar dan sampel no.11 (Raja Mala) pita yang dihasilkan sedikit lebih tebal. Perbedaan hasil pada masing-masing sampel tergantung pada banyaknya konsentrasi DNA yang terekstraksi. Kualitas DNA yang terekstraksi juga ditunjukan oleh adanya smear pada pita DNA, semakin sedikit atau tidak adanya smear menunjukkan semakin baik kualitas DNA. DNA tersebut diencerkan untuk mendapatkan konsenrasi sesuai dengan konsentrasi PCR dan digunakan sebagaim template PCR. Hasil kualitas DNA terdapat pada gambar 1.




Gambar  4.11 Hasil elektroforesis DNA genom pisang dengan gel Agarose  1%. M merupakan marker 1 kb. Ketarangan sumur : sumur  1  Pisang Mas Kirana;sumur 2 Pisang Susu; sumur  3 Pisang Kidang; sumur 4 Pisang Cavendish;sumur 5 Pisang Embug; sumur  6 Pisang Kepok; 7 Pisang Agung Jawa; sumur  8  Pisang Agung Semeru;sumur  9 Pisang Barley; sumur 10 Pisang Raja Nangka; sumur  11 Pisang Raja Mala; sumur 12 Pisang Ambon Hijau.

Hasil amplifikasi dengan primer NBS-LRR menunjukkan bahwa hanya 3 kultivar pisang (Ambon Hijau, Kepok, Kidang) yang dapat diamplifikasi dengan primer NBS-LRR. Pada sampel yang lain tidak terbentuk pita dan tidak terdapat smear dari proses PCR. Ukuran hasil amplifikasi berkisar 180 bp sampai 100 bp yang seharusnya hasil amplifikasi diatas 200 bp. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tidak berhasilnya amplifikasi PCR yaitu komposisi PCR (kerusakan pada Green Master Mix), suhu annealing dan primer yang tidak sesuai. Yowono (2006) menyebutkan bahwa pada saat proses annealing, primer akan menempel pada untaian DNA yang telah terpisah menjadi untai tunggal. Primer tersebut akan membentuk jembatan hidrogen dengan untaian DNA pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Hasil PCR dengan primer NBS-LRR terdapat pada gambar 2.


Gambar 2     Hasil elektroforesis DNA menggunakan primer NBS-LRR dengan gel Agarose 1,2  Keterangan sumur1 Pisang Raja Mala; sumur 2 Pisang Ambon Hijau;sumur 3  Raja Nangka; sumur 4 Pisang Agung Jawa; sumur 5 Pisang Agung Semeru; sumur 6 Pisang Barley; sumur  7 Pisang Kepok; sumur 8; sumur 9 Pisang Embug (kontrol rentan); sumur  9 Pisang Cavendish; sumur 10 Pisang Kidang; sumur 11 Pisang Susu; sumur  12 Pisang Mas Kirana (kontrol tahan).

Hasil PCR dengan menggunakan primer NLRR, primer ini bersifat repetitif. Hasil  menunjukkan bahwa primer ini dapat mengamplifikasi semua sampel kultivar pisang. Pita amplikon pada sampel nomor 1(Mas Kirana), 2 (Barley), 3 (Susu), 4 (Cavendish), 5 (Raja Nangka) dan 6 (Kidang) menghasilkan pita yang tegas dan tidak terdapat smear. Sampel nomor 5 (Raja Nangka), 7 (Agung Semeru), 8 (Agung Jawa), 9 (Ambon Hijau), 10 (Raja Mala), 11 (Embug), 12 (Kepok) menunjukkan adanya smear tipis, sehingga pada hasil PCR  masih terdapat sedikit kontaminan protein. Hasil PCR dengan primer NLRR terdapat pada gambar 3.





Gambar 3 Hasil elektroforesis dengan  primer NLRR keterangan sumur 1Pisang Mas Kirana (kontrol tahan); sumur 2 Pisang Barley; sumur 3 Pisang Susu; Sumur 4 Pisang Cavendish; sumur 5 Pisang Raja Nangka; sumur 6 Pisang Kidang; sumur 7 Pisang Agung  Semeru (kontrol tahan); sumur 8 Pisang Agung Jawa; sumur 9 Pisang Ambon Hijau; sumur 10 Pisang Raja Mala; sumur 11 Pisang Embug (kontrol rentan); sumur 12 Pisang Kepok.

Berdasarkan zimogram ukuran pita yang dihasilkan dari proses amplifikasi berkisar antara 100 sampai 700 bp. Kultivar yang digunakan sebagai kontrol tahan I terhadap penyakit adalah Mas Kirana (sampel no.1) menghasilkan pita berukuran masing-masing  650 bp, 500 bp 150 bp dan 100 bp. Kultivar Agung Semeru sebagai kontrol tahan II (sampel no.7) menghasilkan pita berukuran 300 bp dan 200 bp dan mempunyai ola pita yang sama dengan pisang Susu. Kultivar Embug digunakan sebagai kontrol rentan, menghasilkan pita 1 pita berukuran 200 bp. Beberapa kultivar lain yang mempunyai ukuran 200 bp adalah Barley dan Raja Nangka. Kultivar Kepok enghasilkan 1 pita berukuran 250 bp. Kultivar Agung Jawa, Raja Mala dan Ambon Hijau menghasilkan 1 pita berukuran 200 bp. Kultivar Cavendish menghasilkan 2 pita berukuran 700 bp dan 400 bp. Kultivar  Kidang menghasilkan 2 pita berukuran 500 bp dan 300 bp. Zimogram dapat dilihat pada gambar 4.


Gambar 4. 13  Hasil elektroforesis dengan  primer NLRR keterangan sumur 1 Pisang Mas Kirana (kontrol tahan); sumur 2 Pisang Barley; sumur 3 Pisang Susu; Sumur 4 Pisang Cavendish; sumur 5 Pisang Raja Nangka; sumur 6 Pisang Kidang; sumur 7 Pisang Agung  Semeru (kontrol tahan); sumur 8 Pisang Agung Jawa; sumur 9 Pisang Ambon Hijau; sumur 10 Pisang Raja Mala; sumur 11 Pisang Embug (kontrol rentan); sumur 12 Pisang Kepok.

Primer RGA yang digunakan untuk amplifikasi ini bersifat repetitif, yaitu primer yang mengamplifikasi sekuens DNA berulang pada daerah RGA. Primer ini bersifat spesifik untuk sifat ketahanan tanaman terhadap penyakit. Daerah amplifikasi pada primer ini repetitif pada RGA sekuens forward‘TAGGGCCTCTTGCATCGT dan Reverse ’TATAAAAAGTGCCGACT. Hasil dari primer ini yaitu perbedaan pita antara kultivar tahan dan yang bersifat rentan. Perbedaan  tersebut  diakibatkan oleh sekuen DNA yang berbeda sehingga ketika mengalami proses translasi akan menghasilkan kode protein yang berbeda. Pada saat melawan patogen tanaman hares meregulasikan faktor transkripsi secara tepat (dalam waktu yang tepat) setelah mengenali patogen, agar dapat mengaktifkan gen-gen yang berhubungan dengan pertahanan.
Jumlah hasil amplifikasi menunjukkan bahwa gen yang mengendalikan ketahanan pada penyakit bersifat poligen, artinya ketahanan terhadap penyakit dikendalikan oleh banyak gen yang saling menambah dan memberikan reaksi sehingga menimbulkan ketahanan yang luas. Semangun (2006) menyatakan ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen disebut juga ketahanan horizontal, mekanisme dari ketahanan ini bekerja sebelum maupun sesudah patogen masuk ke dalam badan tumbuhan. Ketahahanan horizontal menyebabkan berkurangnya pembentukan Sp perkembangan epidemi berkurang. Kumpulan gen-gen pada pertahanan horizontal ini akan bertanggung jawab pada serangan patogen yang menginfeksi tanaman.
Hasil pengelompokan berdasarkan dendogram memperlihatkan bahwa tingkat indeks similaritas sifat  ketahanan terhadap penyakit tanaman dibagi menjadi 3 kelompok. Kultivar  Mas Kirana sebagai kontrol tahan  I  mempunyai indeks kemiripan yang rendah dengan kelompok lain yaitu 0,54. Kultivar Embug sebagai kontrol rentan tergabung dengan kultivar Barley dan Raja Nangka mempunyai indeks kemiripan 1, artinya sifat ketahanan dari kultivar tersebut hampir sama. Kultivar Kepok juga tergabung dalam kelompok rentan dengan indeks kemiripan 0,81. Kultivar Agung Semeru sebagai control tahan II tergabung dengan kultivar Susu de tergabung juga kultivar Agung Jawa, Ambon Hijau dan Raja Mala dengan indeks kemiripan antar kultivar tersebut 1,sedangkan dengan kontrol tahan II mempunyai indeks kemiripan 0,91. Kelompok tahan II ini tergabung kultivar Cavendish dengan indeks kemiripan 0,71 dan kultivar Kidang mempunyai indeks kemiripan 0,68.
Gambar 5 Dendogram Penegelompokan

Berdasarkan data filogenetik kultivar-kultivar yang memiliki tingkat kekerabatan dekat seperti kultivar Embug, Barley dan Raja Nangka dan Kepok kemungkinan mempunyai pola RGA yang hampir sama. Kesamaan ini mengakibatkan respon pertahanan terhadap penyakit sama. Kultivar yang mempunyai tingkat kekerabatan dekat dengan kultivar tahan II yaitu Agung semeru dan Susu mempunyai tingkat kekerabatan sama sehingga memiliki kesamaan respon terhadap penyakit. Kultivar Cavendish dan Kidang mempunyai pola pita RGA yang berada diantara kelompok kultivar Embug dan Agung Semeru sehingga respon terhadap penyakit memiliki kesamaan dengan kedua kelompok kedua  kultivar tersebut. Kultivar Mas Kirana mempunyai indeks kesamaan yang rendah yaitu 0,54 dengan kultivar lainnya dikarenakan ketahanan sangat berbeda dan secara genom kultivar bukan hasil persilangan yaitu genom AA. Campbell (2000) menyatakan  respon pertahanan terhadap penyakit dikenedalikan oleh gen ketahanan atau Resistance gene (R Gene), sehingga dengan pola gen ketahanan yang sama dimungkinkan mempunyai respon terhadap penyakit yang hampir sama.
Data hasil hubungan kekerabatan tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk pelaksanaan perkawinan silang dalai pemuliaan tanaman pisang. Julisaniah (2008) menyatakan bahwa hasil diagram filogenetik pengelompokan dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan induk untuk pembuatan bibit. Semakin jauh hubungan kekerabatan antar sampel, maka semakin kecil keberhasilan persilangan, tetapi kemungkinan untuk memperoleh genotip unggul lebih besar jika persilangan berhasil. Perkawinan antara individu berjarak genetic dekat atau hubungan kekerabatannya sama mempunyai efek peningkatan homozigositas, sebaliknya perkawinan antara individu berjarak genetik besar atau kekerabatannya jauh mempunyai efek peningkatan heterozigositas. Informasi ini bermanfaat bagi proses pemuliaan bibit unggul. Perkawinan tetua dengan variasi genetik tinggiakan menghasilkan individu dengan heterozigositas lebih tinggi.

SIMPULAN
Data hubungan kekerabatan antar  kultivar pisang diperoleh Kultivar Mas Kirana sebagai kultivar tahan I berkerabat jauh dengan kelompok rentan dan tahan II dengan indeks kemiripan 0,54. Kultivar Embug sebagai kultivar rentan berkerabat dengan kultivar Barley dan Raja Nangka dengan indeks kemiripan 1, sedangkan dengan kultivar Kepok mempunyai indeks kemiripan 0,81. Kultivar Agung Semeru sebagai kontrol tahan II berkerabat dengan kultivar Susu dengan indeks similaritas kedua varietas ini adalah 1, sedangkan dengan kultivar Agung Jawa, Ambon Hijau dan Raja Mala indeks kemiripannya 0,91. Kultivar  Cavendish berkerabat dengan kultivar tahan II dengan indeks kemiripan 0,73 dan kultivar Kidang dengan indeks kemiripan 0,68.

DAFTAR RUJUKAN
Campbell, N.A. 2003. Biologi Jilid II Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga.
Julisaniah, N.I. 2008. Analisis Kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.) menggunakan Metode  RAPD-PCR  dan Isozim. Biodiversitas. 2 (9).
Poerwanto, R.,Siregar,I.Z., Suryani, A. 2011. Merevolusi Revolusi Hijau. Bogor : IPB Press.
Prahardini, P.E.R, Yuniarti, Krismawati, A. 2010. Karakterisasi Varietas Unggul Pisang  Mas  Kirana   dan Agung Semeru di Kabupaten Lumajang. Buletin Plasma Nutfah.16(2).
Putra, I., Sukewijaya, I., Pradniawati, N. 2013. Identifikasi Tanaman Jahe Jahean (Famili Zingiberaceae) di Bali yang dapat Dimasukkan Sebagai Elemen dalam  Desain Lanskap. E-Jurnal  Agroekoteknologi Tropika.Vol. 2, No. 1.
Rukmana, R. 1997. Usaha Tani Pisang. Jakarta : Kanisus.
Semangun, H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: UGM  Press.
Sutanto, A., Hermanto, C., Sukma D., Sudarsono. 2013. Pengembangan Marka  SNAP Berbasis Resistance Gene  Analogs (RGA) Pada Tanaman Pisang (Musa sp.). J.Hort. 23 (4): 300-309.
Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction.Yogyakarta: Kanisus.